JACQUES de Kadt yang sedang santai di rumahnya terperangah. Seorang lelaki Indonesia berpakaian Barat masuk ke pekarangannya. Ketika itu Jepang baru tiba. Tak ada lagi sahabat dan kenalan Indonesianya yang mau mendekat, takut dikira Jepang kaki-tangan Belanda. Siapa lelaki ini?
Di beranda, lelaki itu memperkenalkan diri: Sjahrir. De Kadt segera ingat, ini mahasiswa Indonesia di Belanda, yang sepuluh tahun lalu sering berdiskusi dengannya soal politik. De Kadt adalah politikus Belanda yang ”terjebak” di Bandung selama Perang Dunia II.
Sjahrir menemuinya karena mendengar De Kadt mengorganisasi gerakan bawah tanah anti-Jepang. Anggotanya pemuda Belanda dan Indo-Belanda. Sjahrir membutuhkannya untuk memperluas jejaring perlawanan terhadap penjajah dari Negeri Matahari Terbit itu.
De Kadt orang kesekian yang ditemui Sjahrir, setelah ia, bersama Mohammad Hatta, pulang dari pengasingan di Banda Neira, Maluku, awal Februari 1942. Mula-mula ia bertemu dengan Sastra, teman lama di Bandung saat masih aktif di Pendidikan Nasional Indonesia.
Meski Sastra komunis, keduanya berkawan dekat. Mereka berpisah pada 1934, setelah Pendidikan Nasional Indonesia dibubarkan polisi, dan Sjahrir diasingkan ke Boven Digul, Papua. Sastra menemui Sjahrir setelah mendengar kabar kawannya itu kembali ke Jawa dan tinggal bersama Hatta di kompleks polisi Sukabumi.
Nekat ia menyusup ke sana. Di rumah Sjahrir, ia tinggal sehari semalam. Bertiga mereka membuat rencana. Hatta akan berpura-pura bekerja sama dengan Jepang untuk melindungi teman-temannya yang berjuang melawan Jepang. Sjahrir, yang enggan membantu Jepang, memimpin gerakan bawah tanah.
”Kalau Bung Hatta ditanyai tentang Sjahrir, dia bilang Sjahrir terganggu pikirannya dan agak sinting,” demikian Sastra bercerita dalam buku Mengenang Sjahrir, yang disunting Rosihan Anwar.
Di Sukabumi, Sjahrir juga sempat ditemui Amir Sjarifoeddin, yang waktu itu bekerja di Departemen Ekonomi pemerintahan kolonial Belanda. Seperti ditulis dalam buku Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, karya Rudolf Mrazek, Amir ditemani pengacara Soejitno Mangoenkoesoemo, adik Tjipto Mangoenkoesoemo. Amir menemui Sjahrir dan Hatta karena mendengar tentara Jepang akan segera menduduki Jawa.
Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Beb Vuyk, penulis Belanda dan teman Sjahrir yang dikutip Mrazek, bercerita serah-terima kekuasaan dari Belanda ke Jepang di kompleks polisi Sukabumi berjalan sangat cepat. Seusai serah-terima, komisaris Belanda di sana berkata, ”Di sini juga terdapat dua pemimpin nasionalis, bagaimana dengan mereka?” Tentara Jepang menjawab, ”Biarkan mereka pergi.”
Tapi Sjahrir dan Hatta tetap tinggal di kompleks polisi itu. Dari sana, mereka melakukan perjalanan ke berbagai kota, termasuk menemui De Kadt di Bandung. Ini tindakan berani. Soalnya, Jepang tak segan memenggal orang yang dikira bersekongkol dengan Belanda.
Sjahrir bercerita dalam bukunya, Out of Exile, pertemuan dengan De Kadt menghasilkan program menyatukan gerakan perlawanan kelompok-kelompok prokemerdekaan. Program ini dia sampaikan kepada teman-temannya di daerah. Antara lain melalui Sastra, yang rajin mengunjunginya di Sukabumi.
Setelah Hatta mendapat perintah pergi ke Batavia, Sjahrir dan anak-anak angkatnya—Lily, Mimi, dan Ali—meninggalkan kota itu. Sejak itu, Sjahrir hidup nomaden di Jawa: pernah tinggal di Semarang, Bandung, lalu Cipanas, Bogor, sebelum kembali ke Jakarta.
Sambil berkelana, Sjahrir kembali berhubungan dengan kawan-kawan lamanya dan para kader Pendidikan Nasional Indonesia. Dengan Rusni di Priangan, Soedarsono, Sugra, dan Sukanda di Cirebon, Wiyono dan Sugiono Yosodiningrat di Yogyakarta, dan Djohan Sjahruzah di Surabaya. Melalui Soejitno, ia berhubungan dengan cendekiawan muda seperti T.B. Simatupang, Ali Budiardjo, dan Halim.
Jaringannya di Kedurus, Surabaya, yang dipimpin Sudjono dan Johan Sjahruzah, berhasil menguasai ladang minyak. Di masa kolonial, sumur minyak itu dikelola Shell Belanda. Jaringan eks anggota Pendidikan juga membangun Koperasi Rakyat Indonesia di Jawa Barat, dengan tujuan terselubung mempersiapkan rakyat menyambut kemerdekaan. Di Bandung, koperasi ini disingkat Korindo, di Cirebon disebut KRI.
Pindah ke Jakarta, Sjahrir dan anak-anaknya tinggal di paviliun rumah Hatta di Jalan Oranje Boulevard—sekarang Jalan Diponegoro. Dari situ mereka pindah ke Jalan Tegal, Jalan Dambrink, yang kini menjadi Latuharhari, lalu Jalan Jawa 61—sekarang HOS Cokroaminoto.
Pada Juli 1942, atas permintaan Soekarno, yang baru kembali dari pembuangan di Sumatera, Sjahrir, Hatta, dan Soekarno melakukan rapat di rumah Hatta. Asmara Hadi, orang kepercayaan Soekarno, ikut dalam pertemuan itu.
Des Alwi, anak angkat Sjahrir yang datang dari Banda Neira beberapa bulan setelah Sjahrir tiba di Jakarta, disuruh Hatta berjaga di pintu. ”Om Hatta tak ingin ada orang lain masuk,” Des bercerita. Malam itu ketiganya sepakat: Soekarno bersama Hatta akan bekerja sama dengan Jepang, dan Sjahrir tetap menyusun perlawanan di bawah tanah.
Peran itu membuat Sjahrir tak punya pendapatan tetap yang cukup. Agar tahan susah, anak-anaknya diajari hidup sederhana. Untunglah selalu ada teman yang membantu. Sastra, yang kebetulan punya tambak ikan di Garut, misalnya, jika datang selalu membawa beras dan ikan kering.
Ketika Des masuk sekolah radio, Institut Voor Electro Vak Onderwijs, uang sekolah yang sebulannya delapan gulden dibayar Hatta. Kebetulan Lily segera mendapat pekerjaan untuk membantu keuangan keluarga besar Sjahrir.
Sebagai motor gerakan bawah tanah, Sjahrir rajin menggelar diskusi. Selain di rumahnya sendiri, menurut Des Alwi, Sjahrir sering berdiskusi di daerah Manggarai, Jakarta. Peserta tetapnya antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Mr Soejitno, Ali Budiardjo, dokter Soedarsono, Zainal Abidin, Hamdani, dan dokter Toha.
Jika tidak di Manggarai, diskusi digelar di Sindanglaya, Cipanas. Ini rumah Halim, salah satu kerabat Sjahrir. Ikut dalam lingkaran diskusi Sjahrir: mahasiswa kedokteran seperti Soedjatmoko, Abu Bakar Lubis, Subianto, dan Suroto Kunto.
Untuk mengetahui perkembangan perang Jepang melawan Sekutu, Sjahrir mengandalkan siaran radio, termasuk dari BBC. Ia punya radio yang disembunyikan di dalam lemari. Agar tak kentara, radio itu sudah dibuka rangkanya dan disembunyikan di balik kain batik. ”Jika Sjahrir bilang, ’Des, butuh batik,’ kami sudah tahu maksudnya,” tutur Des.
Pada suatu hari, karena mendapat radio baru, Sjahrir membawa radio lamanya ke Cipanas untuk disimpan Halim. Ketika dia kembali ke Cipanas untuk mengambil radio itu beberapa bulan kemudian, ternyata sudah rusak. Rupanya Halim, yang takut ketahuan Jepang, mengubur barang itu di dalam tanah. ”Oom sangat kecewa karena radio itu sangat berjasa,” tulis Lily dalam buku Mengenang Sjahrir.
Ketika Sjahrir mendengar dari radionya Jepang hampir kalah, dia ingin kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Tapi Soekarno memilih menunggu lampu hijau dari Jepang. Sjahrir jengkel. Maka, pada Juli 1944, ketika mendengar Tan Malaka ada di Bayah, Banten, menyamar sebagai Ibrahim, dia segera mencari Tan. Sjahrir meminta Tan Malaka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tapi tokoh komunis itu juga menolak.
Pada 14 Agustus 1945, Sjahrir mendengar dari BBC, Jepang akhirnya menyerah kepada Sekutu. Buru-buru dia menemui Bung Karno, memintanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia saat itu juga. Lagi-lagi Soekarno menolak. Ini membuat Sjahrir kecewa. Dia lalu meminta dokter Soedarsono memproklamasikan kemerdekaan di alun-alun Kejaksan, Cirebon. Maka, di Cirebon, Indonesia merdeka lebih dulu dua hari dari Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar