Selasa, 10 Februari 2009

Sinetron Cerminan bangsa???

Malam itu, seperti biasa saya pergi ke warteg terdekat untuk makan malam. Wartegnya, saat itu, cukup penuh juga. Sebuah TV 14 inci sedang menyiarkan sinetron yang saya tak tahu judulnya. Bintangnya Inneke Koesherawati.

Meskipun wartegnya lumayan penuh, tapi sedikit sekali terdengar suara manusia bercakap. Semuanya diam, tenggelam dalam penghayatan. Menghayati apa? Kepala-kepala mereka mendongak ke atas, ke arah TV. Oh, ke sinteron...Beberapa terlihat serius dan kadang-kadang geram terhadap tokoh antagonisnya. Saat iklan, semua kecewa, dan baru mengalihkan perhatian ke yang lain.

Karena penasaran, saya ikut-ikutan nonton sinetron tersebut. Selain Inneke, tak ada yang menarik...;-p (eits, jagalah hati!). Ceritanya khas sinetron. Plotnya juga dapat mudah ditebak. Menyaksikan sinetron ini semakin mengukuhkan anggapan orang tentang sinetron yang sering saya dengar atau saya baca: tayangan bodoh, penuh drama pertengkaran, air mata, konflik keluarga, dan tokoh-tokohnya yang selalu berada di dua kutub ekstrem, entah sangat jahat atau sangat baik.

Saya memutuskan untuk fokus pada makan malam saya lagi. Namun, kemudian saya tertarik pada suatu hal lain: kok yang lain masih bisa sangat antusias menyaksikan? Padahal tidak selalu ada Inneke di tiap adegannya...;-p (ya Allah, Lucky, Lucky...)

Saya baru sadar bahwa Ram Punjabi ada benarnya. Saya diceritakan Parni Hadi, ketika ia bertanya pada Pak Ram, ”Kenapa anda membuat tayangan macam itu?”.

Kata Pak Ram enteng saja, ”Pak Parni, mereka suka sinetron saya!”.

Mau bagaimana lagi? Lepas dari kontroversialnya sistem dan metodologi peratingan, bukankah pasar dan seleranya yang berkuasa?

Rating, dan Pak Ram benar: masyarakat (masih) suka. Tetapi kok, kenapa hampir tak ada teman-teman saya mahasiswa yang suka? Kenapa artikel-artikel atau opini yang saya baca, lebih banyak mengecam daripada memuji? Sehingga saya tidak ngeh dengan fakta ini sebelum menyaksikan sendiri khusuk-nya orang-orang menonton sinetron.

Karena posisi kita di masyarakat. Saya, yang mahasiswa, dan saya juga yakin termasuk anda yang berkesempatan membaca blog, adalah kelas menengah. Sebenarnya jumlahnya itu kecil, tapi mereka berpengaruh. Mereka yang aktif menjadi decision maker, mereka yang relatif berkecukupan. Mereka yang relatif lebih berpendidikan, mereka yang lebih punya banyak akses untuk sumber informasi sekaligus juga menentukan informasi. Sehingga menjadi opinion leader. Terkesankan bahwa banyak yang tak suka sinetron. Padahal, kenyataannya sebaliknya.

Kata senior saya dulu, kelas menegah inilah yang menentukan wajah suatu bangsa. Mungkin benar, tetapi ingat, hanya sebatas wajah! Hanya tampilan luar. Hanya yang terlihat dan teropinikan di media. Bagian dalamnya, bagian mentalnya, karakternya, kesadarannya, sama sekali tidak.

Dari mana kita bisa melihat kesadaran (atau malah bawah sadar) kolektif suatu bangsa? Dari televisi. Televisi mungkin merupakan alat elektronik paling sering yang dapat ditemukan pada keluarga-keluarga sekarang. Penetrasinya dalam dan meluas, mulai dari desa hingga kota, dari kalangan atas hingga bawah.

Lalu, kesadaran, karakter, atau malah bawah sadar suatu bangsa salah satunya bisa dilihat dari hasratnya. Semangat yang terasakan. Mimpi-mimpinya. Keinginannya. Yang menjadi favoritnya, dan yang dicintainya.

Nah, tesis sederhananya begini: karakter bangsa bisa dilihat dari tayangan TV yang menjadi favoritnya. Saya tadinya ingin bilang kesadaran bangsa bisa dilihat dari budaya populernya, tapi saya ingin membatasi diri pada tayangan televisi saja.

Di Amerika Serikat, TV serial paling populer adalah serial Prison Break. Kedua baru Lost. Tentang apa kedua serial itu? Prison Break menceritakan kisah Michael Scofield yang berusaha membebaskan kakaknya dari penjara. Kakaknya ini divonis mati karena difitnah oleh sebuah kekuatan besar di pemerintahan. Nah, si Michael ini, yang insinyur teknik sipil jenius, menatokan jalan keluar dari penjara pada seluruh badannya, menyengajakan diri masuk penjara, dan tiap episode menelusuri lorong-lorong penjara untuk kabur bersama kakaknya. Lost menceritakan tentang kisah penerbangan Oceanic 415 yang terdampar di pulau misterius, lalu membangun komunitas, dan tiap episode mengungkap misteri-misteri pada pulau tersebut sekaligus misteri masing-masing tokohnya. Cukup dua sampel, tapi kita bisa mengkonfirmasi para penulis yang sering menceritakan tentang karakter bangsa Amerika.

Bangsa Amerika adalah pemuja kepahlawanan, itu yang sering dikatakan. Mereka mencintai orang-orang hebat, extraordinary, dan melakukan tindakan mulia. Makanya, katanya lagi, calon presiden Amerika dipandang memiliki nilai plus di mata masyarakat bila pernah menjadi veteran perang, sebagai bukti patriotismenya membela negara. Nilai-nilai itulah yang bisa kita saksikan dengan mudah di hampir setiap produk tayangan amerika. Lihat film hollywood. Lihat TV serial amerika. (meskipun karena sekarang Amerika adalah melting pot, dan sekarang zamannya memberikan suara bagi para liyan, mulai terdengar nada yang relatif beragam dari produk-produk AS).

Seperti yang pernah dibahas oleh Vetri, kita juga bisa merasakan satu semangat yang sama, dan selalu ada, dari dorama-dorama jepang. Berbeda dengan orang Amerika yang senang betul para jagoan hebat, dengan generalisasi yang brutal bisa kita lihat tokoh-tokoh dorama jepang lebih sering orang-orang biasa. Beberapa malah memiliki kekurangan. Namun mereka tak pernah kekurangan satu hal: semangat yang menyala. Coba tonton One Litre of Tears, kisah seorang yang didiagnosa cacat tapi dengan tulisannya dan semangatnya sangat menginspirasi. Atau dragon zakura, tentang sekelompok anak dari SMA terbodoh di Tokyo yang kepingin masuk Universitas Tokyo. Sama seperti Lost & Prison Break, denger-denger kedua dorama ini populer juga di Jepang sana.

Bagaimana dengan bangsa kita? Lihat sinetron-sinetron kita. Apa boleh buat, kita belum beranjak dari kisah orang jahat yang balas dendam lalu merebut anak musuhnya. Belum beranjak dari tayangan dengki. Dengan kisah-kisah yang konyol. Tidak peduli yang terlihat atau terkesankan oleh kelas mengahnya yang berbeda, tetap saja yang populer dan lebih sahih dibilang karakter bangsa adalah yang semacam itu. Anak mudanya disibukkan tayangan-tayangan sinetron remaja yang aneh-aneh. Mungkin itulah karakter pemuda bangsa kita sekarang.

Bisakah kita mengubah karakter bangsa kita? Banyak yang berharap Ram Punjabi memproduksi sinetron dengan tema lebih cerdas. Tapi saya rasa, prosesnya tak bisa seperti itu. Pasar itu, meskipun kadang kejam, tetapi ia sangat jujur. Ia hanya merefleksikan keinginan dari konsumennya. Pak Ram pun, sebagai pebisnis, tentu kenal pasar. Jadi, kita tak bisa memproduksi sinetron cerdas dan berharap karakter bangsa kita jadi cerdas. Gejala tak akan mengubah sumbernya.

Banyak yang bilang tentang pemberdayaan, atau malah pengkonsolidasian kelas menengah. Nah, disinilah pendidikan akan berperan penting., karena pendidikan adalah tangga kelas. Teori sederhananya, semakin banyak kelas menengah yang berpendidikan, yang tadinya kelas menengah itu hanya menunjukkan wajah bangsa, ketika banyak, akan menunjukkan juga karakter bangsa. Nanti pun, produsen akan bereaksi. Akan kita lihat sinetron-sinetron yang lebih cerdas, dari Ram Punjabi sekalipun.

Ah, kenapa pula serumit itu? Pengalaman di warteg itu buat saya menunjukkan suatu hal: mau gimana lagi, wong mereka suka! Saya memutuskan untuk berhenti sinis pada Ram Punjabi atau melecehkan sinetron-sinetron. Malah bersyukur, mereka bisa memberi sedikit hiburan, biarpun semu, buat para pengunjung warteg seluruh Indonesia.

Wallahu a’lam bis showaab.
Dan Hanya ALLAH Yang Maha Mengetahui

NB: saya tidak sabar menunggu Dunia Tanpa Koma, TV serial yang katanya bagus dan cerdas. Hanya 14 episode, direncanakan matang, dan mengambil contoh TV-TV serial di Amerika sana. Tapi kayaknya ini yang akan terjadi: di media, serial tersebut akan mendapat ulasan yang baik. Saya dan Anda akan suka. Namun ratingnya akan berada pada tingkatan menengah saja, kalau tidak buruk. Tetapi, akan tetap banyak iklan! Kenapa coba?

Ya, kelas menengah ini punya purchasing power yang sangat powerful!

1 komentar:

Aldeetropolis mengatakan...

Sudah saatnya TV menayangkan film pendek independen bkinan orang-orang idealis...Walopun bahasanya susah dimengerti tapi idealisme mereka menunjukkan ingin membuat tayangan yg cerdas n menghibur...Lagipula infotainment masih lebih berbahaya drpd sinetron macam gtu...mau ghibah kok ngajak-ngajak penonton....Tu kn namanya bagi-bagi dosa....